Beranda | Artikel
Fikih Penyembelihan Hewan (Bag. 1)
Sabtu, 21 Juni 2025

Ibadah penyembelihan hewan merupakan syiar agung dalam Islam, yang mengandung nilai tauhid, ibadah, dan pengorbanan. Ia bukan hanya berkaitan dengan daging dan darah, tetapi tentang niat dan ketundukan seorang hamba kepada perintah Rabb-nya. Oleh karena itu, pembahasan tentang penyembelihan dalam fikih Islam tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip ibadah dan syarat-syarat yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.

Di artikel pertama dari serial Fikih Penyembelihan Hewan ini, kita akan menelaah dasar-dasar hukum dan praktik penyembelihan menurut panduan di kitab-kitab fikih, khususnya dalam bab udhiyyah, yang mencakup: pengertian, dalil, hukum, syarat sah hewan sembelihan, waktu, dan tata cara pendistribusiannya.

Pengertian dan dalil pensyariatan penyembelihan

Udhiyyah ( الْأُضْحِيَّةُ ) secara bahasa, dengan mentasydid huruf ya, dan dibaca dengan dhammah atau kasrah pada huruf hamzah di awalnya; yang dimaksud adalah kambing yang disembelih pada hari Iduladha. [1]

Adapun secara istilah syar’i, udhiyyah adalah hewan yang disembelih sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta‘ala pada hari-hari penyembelihan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. [2]

Ibadah udhiyyah disyariatkan pada tahun kedua hijriyah. Dalil pensyariatannya bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijmak (kesepakatan para ulama).

Di antara dalil dari Al-Qur’an, adalah firman Allah Ta’ala,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)

Adapun dari As-Sunah, banyak hadis yang menunjukkan keutamaannya, anjuran untuk melaksanakannya, dan peringatan bagi yang meninggalkannya. Di antaranya adalah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ضحى النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين أملحين أقرنين، ذبحهما بيده، وسمى وكبر ووضع رجله على صفاحهما

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing jantan berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri, menyebut nama Allah, bertakbir, dan meletakkan kaki beliau di atas sisi leher keduanya.” (HR. Bukhari, 2: 210 dan Muslim, 3: 1556)

Sedangkan dari ijmak, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir,

وأجمعوا على أن الضحايا لا يجوز ذبحها قبل طلوع الفجر يوم النحر

“Para ulama sepakat bahwa hewan kurban tidak boleh disembelih sebelum terbit fajar pada hari Nahr (Iduladha).” [3]

Hukum udhiyyah (kurban)

Udhiyyah hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan), dan menjadi wajib jika dinazarkan. [4]

Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa udhiyyah adalah sunnah muakkadah. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Abu Bakar, Umar, Bilal, dan selain mereka. [5]

Dalilnya adalah hadis Anas radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana telah berlalu penyebutannya. (HR. Bukhari, 2: 210 dan Muslim, 3: 1556)

Udhiyyah tidaklah wajib, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkurban atas nama orang-orang dari umatnya yang tidak berkurban. (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 11066, Abu Dawud no. 2810, dan at-Tirmidzi no. 1521; dan disahihkan oleh Al-Albani) Selain itu, diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak berkurban untuk keluarganya karena khawatir hal itu dianggap sebagai kewajiban oleh masyarakat. (Atsar ini diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Al-Kubra, no. 18813, dan disahihkan oleh Al-Albani)

Namun, makruh hukumnya meninggalkan kurban bagi orang yang mampu. Ini dinyatakan secara tegas oleh para ulama. [6]

Adapun jika seseorang bernazar untuk berkurban, maka hukumnya menjadi wajib, berdasarkan hadis,

من نذر أن يطيع الله فليطعه

“Barang siapa bernazar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia menunaikannya.” (HR. Bukhari no. 6696)

Syarat sah udhiyyah

Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar penyembelihan kurban dinilai sah, yaitu:

Niat untuk berkurban

Karena penyembelihan bisa dilakukan dengan tujuan ibadah (mendekatkan diri kepada Allah) atau bisa juga sekadar untuk mendapatkan daging. Maka penyembelihan tidak dihitung sebagai ibadah kecuali dengan niat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل أمرئ ما نوى

“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari, 1: 3 dan Muslim, 3: 1515)

Hewan harus berasal dari jenis an‘am (ternak)

Yaitu: unta, sapi, atau kambing (baik domba maupun kambing kacang), baik jantan maupun betina.
Yang paling utama adalah unta, lalu sapi jika disembelih secara penuh oleh satu orang, kemudian kambing, karena banyak manfaatnya bagi fakir miskin dan harga yang lebih tinggi menunjukkan keutamaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu termasuk dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Hewan harus mencapai usia minimal yang sah untuk kurban

Usia minimal yang sah untuk kurban yaitu:

  • Jadz‘ (usia 6 bulan) untuk domba
  • Tsani dari unta: usia 5 tahun
  • Tsani dari sapi: usia 2 tahun
  • Tsani dari kambing: usia 1 tahun [7]

Seekor kambing sah untuk satu orang dan seluruh anggota keluarganya, sedangkan seekor unta atau sapi sah untuk tujuh orang.

Dalilnya adalah hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,

فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في الإبل والبقر كل سبعة منا في بدنة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berserikat dalam satu unta atau sapi, tujuh orang dalam satu hewan.” (HR. Muslim, 5: 71)

Dan dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu,

كان الرجل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يضحي بالشاة عنه وعن أهل بيته فيأكلون ويطعمون

“Dahulu seseorang di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan satu ekor kambing atas nama dirinya dan keluarganya, lalu mereka memakan dan memberi makan darinya.” (HR. At-Tirmidzi, 4: 91 dan disahihkan oleh Ibnu Majah, 3: 541)

Bebas dari cacat dan penyakit

Berdasarkan hal ini, maka tidak sah berkurban dengan hewan yang buta total, atau yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, juga tidak sah dengan hewan yang sangat kurus hingga tidak berdaging (al-‘ajfa’), atau yang pincang parah hingga tidak mampu berjalan bersama hewan yang sehat. Demikian pula tidak sah dengan hewan yang telah tanggal gigi serinya dari akarnya (al-hatma’), atau hewan tua yang ambingnya telah kering dan tidak lagi mengeluarkan susu (al-jadzaa’).

Dalilnya adalah hadis dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أربع لا تجوز في الأضاحي العوراء البين عورها والمريضة البين مرضها، والعرجاء البين ضلعها، والعجفاء التي لا تنقي

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah kami dan bersabda, ‘Empat hewan yang tidak sah untuk kurban: (1) yang buta sebelah dan jelas kebutaannya; (2) yang sakit parah dan jelas penyakitnya; (3) yang pincang dan nyata pincangnya; dan (4) yang sangat kurus hingga tidak berdaging.’” (HR. Abu Dawud, 3: 161 dan At-Tirmidzi, 4: 85) [8]

Waktu penyembelihan udhiyyah

Mar‘i bin Yusuf al-Karmi berkata,

وأول وقت الذبح من بعد أسبق صلاة العيد بالبلد أو قدرها لمن لم يصل

“Waktu awal penyembelihan adalah setelah salat Id yang paling awal di daerah tersebut, atau sesuai perkiraan waktunya bagi yang tidak melaksanakan salat.” [9]

Waktu tersebut merupakan waktu yang paling utama untuk menyembelih. Waktu penyembelihan terus berlanjut sampai akhir hari-hari tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah). [10]

Tata cara distribusi hasil penyembelihan

Mar‘i bin Yusuf al-Karmi mengatakan,

ويجب أن يتصدق بأقل ما يقع عليه اسم اللحم

“Dan wajib bersedekah dengan jumlah minimal yang masih bisa disebut sebagai daging.” [11]

Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala,

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan kepada orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28), dan zhahir (makna lahiriah) dari perintah tersebut menunjukkan kewajiban.

Disunahkan untuk membagi daging kurban menjadi tiga bagian:

[1] Sepertiga dimakan oleh orang yang berkurban;

[2] Sepertiga diberikan sebagai hadiah;

[3] Sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin.

Dalilnya adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang kurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ويطعم أهل بيته الثلث، ويطعم فقراء جيرانه الثلث، ويتصدق على السؤال بالثلث

“Beliau memberi makan sepertiga kepada keluarganya, sepertiga kepada fakir miskin dari kalangan tetangganya, dan sepertiga disedekahkan kepada para peminta.” (Diriwayatkan oleh Abu Musa dalam Al-Wazha’if dan dinyatakan hasan sebagaimana dalam Al-Mughni, 11: 109; cet. Al-Manar) [12]

Larangan menjual bagian dari hewan kurban

Haram hukumnya menjual bagian apa pun dari hewan kurban, termasuk rambut atau kulitnya. Tidak boleh pula memberi tukang sembelih bagian dari hewan kurban sebagai upah.

Dalilnya adalah hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu,

أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم، أن أقوم على بدنة، وأن أقسم جلالها، ولا أعطي الجازر منها شيئاً، وقال: نحن نعطيه من عندنا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurus penyembelihan unta kurban beliau, lalu aku membagikan kulit dan pelananya, dan beliau melarangku memberikan sesuatu darinya kepada tukang sembelih. Beliau bersabda, ‘Kami memberikan upah dari uang kami sendiri.`” (HR. Bukhari no. 1717 dan Muslim no. 1317) [13]

Demikian pembahasan seputar definisi, hukum, syarat, dan adab penyembelihan hewan menurut syariat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menunaikan ibadah kurban dengan benar. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah kontemporer seputar penyembelihan modern yang sering menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat.

[Bersambung]

Baca juga: Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Penyembelihan Hewan Kurban

***

Rumdin PPIA Sragen, 11 Zulhijah 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi utama:

  • Al-Karmi, Mar‘i bin Yusuf. Dalil ath-Thalib li Nail al-Mathalib. Cetakan Ketiga. Riyadh: Syarikat Ithraa al-Mutun, 1444/ 2022.
  • Ibnu Dhouyan, Ibrahim bin Muhammad bin Salim. Manar as-Sabil fi Syarh ad-Dalil ‘ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Cetakan Keenam. Kairo: Dar Ibn al-Jauzi, 1440/ 2019.
  • Al-Muthlaq, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018.

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Lisan al-‘Arab, 14: 477.

[2] Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 5: 111. Lihat juga al-Mishbah al-Munir, hal. 358–359.

[3] Al-Ijma‘ karya Ibn al-Mundzir, hal. 78. Nukilan dari sub-bab ini dari Al-Fiqhul Muyassar, 4: 117.

[4] Dalil ath-Thalib, hal. 353.

[5] Lihat Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 119.

[6] Manar as-Sabil, hal. 219.

[7] Lihat Dalil ath-Thalib, hal. 354.

[8] Disarikan dari Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 120–121.

[9] Dalil ath-Thalib, hal. 357.

[10] Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 122.

[11] Dalil ath-Thalib, hal. 358.

[12] Al-Fiqh al-Muyassar, 4: 122; dan Manar as-Sabil, hal. 223.

[13] Manar as-Sabil, hal. 223.


Artikel asli: https://muslim.or.id/106149-fikih-penyembelihan-hewan-bag-1.html